24.9.04

Potret Keluarga Imigran Indonesia di Malaysia

Juli lalu ibu saya dan saya berkesempatan mengunjungi negeri jiran kita, Malaysia. Dengan AirAsia (karena tiket yang supermurah), kami terbang meninggalkan Jakarta selama kurang lebih 1,5 jam dan mendarat di Senai International Airport, Johor Bahru. Sesaat sebelum pesawat mendarat, dari jendela pesawat terlihat hamparan kebun kelapa sawit yang mahaluas. Malaysia memang dikenal sebagai negara eksportir sawit terbesar di dunia.

Kami berencana untuk tinggal di rumah etek (bibi/tante dalam bahasa minang, jadi saya memanggilnya nenek) ibu saya di Kualalumpur. Maka, setelah meninggalkan Airport kami langsung naik shuttlebus (gratis) menuju Johor Bahru City Lounge, penduduk setempat menyebutnya pusat bandaraya (pusat kota). Sesampai di sana kami langsung menyewa taksi menuju terminal bus Larkin. Setelah membayar RM25 seorang, kami pun naik bus menuju Kualalumpur (KL). Jarak tempuh antara Johor Bahru dan Kualalumpur sekitar 360 km, dan kami sampai di tujuan dalam waktu kurang lebih 5-6 jam, itu pun setelah beberapa kali berhenti menurunkan penumpang dan istirahat. Cepat sekali bukan? Tidak heran, karena di Semenanjung Malaysia memang sudah dibangun jaringan jalan tol yang membentang dari selatan sampai utara yang menghubungkan hampir semua kota. Bahkan katanya, jaringan jalan tol itu membentang sampai Beijing, RRC!

Sesampai di KL, hari sudah sangat larut, sekitar pukul 1.30 dinihari. Setelah turun dari bus, kami pun menyewa taksi menuju rumah nenek saya. Untunglah beliau masih stand by, karena rasanya tidak enak juga datang ke rumah orang larut malam begitu.

Nenek saya itu bernama Mulhayani. Ibu memanggilnya Tek Mon, dan saya pun memanggilnya Nek Mon. Beliau hidup bersama suami keduanya dan 3 putrinya yang cantik (menurut saya). Beliau cerai, karena konflik keluarga, dari suami pertamanya pada pertengahan tahun 80-an. Pada saat itu mereka telah tinggal dan mencari nafkah di Malaysia. Diam-diam saya mengagumi nenek saya ini. Setelah mendengar kisah hidupnya, jelas sekali kalau ia wanita yang tegar dan penuh semangat. Setelah cerai, putri pertamanya sempat mengeluhkan nasib mereka selanjutnya, bagaimana ia akan terus sekolah dan hidup. Lalu beliau menenangkannya seraya menjawab, "walaupun sampai kaki saya di kepala dan kepala saya di kaki, kamu akan terus sekolah!" Dan perkataannya memang dibuktikan sendiri olehnya. Bersama suami keduanya Hamidun, - orang Medan yang merantau ke Malaysia- mereka banting tulang di negeri yang asing bagi mereka untuk bertahan hidup dan menyekolahkan anak-anaknya. Mereka mencoba berbagai macam bisnis, dari membuka kedai nasi, bangkrut, berdagang barang-barang elektronik, bangkrut lagi, dan akhirnya berdagang kain/kebaya yang bertahan sampai sekarang. Alhamdulillah, Allah memang selalu memudahkan jalannya rizki bagi hamba-hambanya yang berusaha dan bertawakal. Beliau bersama keluarganya sekarang tinggal di sebuah rumah yang cukup bagus untuk ukuran kelas menengah Malaysia dengan sebuah mobil sedan yang siap mengantarnya pulang pergi berniaga. Dua dari tiga putrinya telah lulus kuliah dan bekerja di perusahaan yang tergolong bonafid. Putri bungsunya sekarang masih kuliah di salah satu PTN di Melaka, tidak terlalu jauh dari KL.

Putri pertamanya bernama Gusrina atau Rina. Ia berusia 28 tahun dan telah menikah 1,5 tahun yang lalu dengan Rasyid, pria blasteran cina-melayu asal Kedah, seorang kapten pilot TUDM (Tentera Udara Diraja Malaysia). Mereka telah dikaruniai seorang putra berusia 5 bulan yang menggemaskan, namanya Syafik. Karena belum membeli rumah, mereka masih tinggal bersama Nek Mon. Tek Rina, menurut saya yang paling cantik. Ia memiliki kulit putih bersih, lambut lurus dan tubuh yang cukup proporsional. Tak heran Bang Rasyid meminangnya. Begitu juga Bang Rasyid yang tinggi besar dan juga berkulit putih. Bila saya melihatnya jalan berdua, tampak sangat serasi dan mencerminkan pasangan muda Malaysia yang mapan. Bagaimana tidak, Penghasilan Bang Rasyid sebagai pilot kerajaan sebesar RM7000 (Rp17,5 juta). Belum lagi gaji Tek Rina yang bekerja di salah satu anak perusahaan Petronas RM3500 (Rp8,75 juta). Jumlah yang lebih dari cukup untuk hidup enak di Malaysia. Tak heran kalau masing-masing dari mereka memiliki mobil. Kami sering diantar jalan-jalan oleh mereka ke berbagai tempat di KL. Sebagai wanita karier, Mau tak mau Tek Rina sering meninggalkan Syafik di rumah bersama pengasuhnya. Pergi pagi pulang sore, begitulah rutinitas pasangan itu setiap harinya. Tinggallah Syafik bersama Kak Ati, pengasuhnya yang juga warga Medan. Pada suatu akhir pekan, untuk mengobati kerinduan, Tek Rina dan Bang Rasyid membawa Syafik dan Kak Ati berakhir pekan seraya melihat konser pianis Richard Clayderman (tentu saja Syafik dan Kak Ati tak ikut lihat konser) di Genting Highland, pusat rekreasi pegunungan tak jauh dari KL.

Putri kedua, Suryani atau Isu, lajang 23 tahun. Hanya terpaut setahun di atas saya. Ia bekerja sebagai sekretaris di Takaful, sebuah perusahaan asuransi syari'ah multinasional. Sehari-hari ia bekerja mengenakan busana muslimah, namun hanya ketika ia bekerja. Isu juga berparas cantik. Kulitnya putih dan menurut saya memiliki mata yang menawan. Posturnya lebih pendek dari Tek Rina, dan memang, di antara mereka bertiga, ia yang paling pendek. Pada hari-hari kerja, rutinitasnya juga tak jauh berbeda dari kakaknya, pergi pagi pulang sore. Weekend? Inilah yang membedakannya. Isu adalah tipikal anak rumahan. Ia jarang sekali pergi keluar, atau main bersama teman-temannya, layaknya anak-anak muda yang lain. Ia lebih senang tinggal di rumah. Kalau tidak nonton TV, tinggal di kamar (saya tidak tahu apa yang dilakukannya dalam kamar karena saya tidak pernah main ke kamarnya, hehehe;)), atau bersenda gurau dengan Syafik, keponakannya. Namun ketika saya berkesempatan jalan-jalan dengannya dan adiknya di KLCC (Mall terkenal di KL), ia tak dapat menyembunyikan fitrahnya sebagai wanita. Sering ia tertarik melihat baju-baju dan tas yang terpampang di etalase pertokoan, dan faktanya ia juga punya kartu belanja Isetan (salah satu department store terkemuka di Malaysia). Setiap sabtu malam, ia setia menonton konser Akademi Fantasia (AFI versi Malaysia) di TV. Akhirnya kami yang tak terbiasa nonton AFI tertarik juga menontonnya.

Putri bungsunya bernama Suyatri atau Iyet, 19 tahun. Iyet ini punya postur paling tinggi daripada kakak-kakaknya. Rambutnya ikal panjang, berkulit lebih gelap, namun tetap cantik dan punya senyum yang manis. Nah, Iyet inilah tipikal anak gaul Malaysia. Suka sekali memakai baju indies yang lumayan ketat sebatas pinggul dan celana jeans ketat. Ia juga punya banyak teman. Kata ibunya, mayoritas teman-temannya berasal dari keluarga-keluarga kaya dan pejabat. Memang iya sih. Sepanjang perjalanan menuju KLCC untuk nonton sinema, ia seperti tak henti-hentinya ber-sms dan mengobrol ria di HP-nya. Lalu di tengah-tengah film diputar, ia ditelepon temannya dan akhirnya kabur meninggalkan teater dan bergabung bersama teman-temannya. Tinggallah Isu dan saya berdua di teater.

Mereka semua, kecuali Pak Hamidun, telah menjadi warganegara Malaysia. Memang negeri jiran itu menjanjikan banyak harapan, dan tidak sedikit kisah sukses orang Indonesia di sana. Namun di balik itu, sangat sering kita dengar kisah duka tentang pendatang-pendatang dari Indonesia di sana. Dan keluarga nenek saya itu termasuk yang beruntung.

1 comment:

palksinm said...

Kisah duka perantau Indonesia ke Malaysia itu hanya sedikit dari sekian banyak kisah suka yang tak diceritakan media Indonesia. Sayang kisah duka yang sedikit itu lebih banyak diperbesarkan. Hingga di mana orang, ia kelihatan banyak.