Pekan ini adalah hari-hariku tanpa pendamping tersayang... vespaku. Yup, Ahad kemarin aku menitipkan vespaku kepada seorang paman di Antapani untuk direparasi dan dicat ulang. Beliau punya kenalan montir vespa, jadi mudah-mudahan aku boleh dikasi harga miring. Emang udah pantes si, melihat kondisi vespa yang nyaris babak belur tak terawat... bungkus jok yang sobek hingga air hujan dapat merembes sampai ke busanya, alas jok yang patah, bodi yang penyok dan penuh baret-baret, komponen mesin yang diselimuti debu tebal.... dan beberapa hari lagi aku akan mendapati kembali 'kekasihku' itu (hopefully) dengan wajah cantiknya, bodi putih mulusnya, dan siap mengantarku kemana pun (asal ngga ke bogor, nyokap bisa marah-marah).
Kembali ke hari-hariku sekarang, aku memutuskan untuk lebih sering jalan kaki menuju kampus dari tempat kost-ku di Tubagus Ismail. Hemat ongkos dan itung-itung ngurusin tubuh, hehe. Biasanya pagi-pagi sejam sebelum kuliah, aku berjalan menyusuri jalan raya tubagus ismail. Sebelum pemilu, kondisi aspal jalan sangat buruk (klo orang malaysia bilang: alahmak, teruk sangat ler jalan ni!). Lubang di mana-mana. Apalagi dalam kondisi hujan. Tak pelak sering terjadi kemacetan karena kendaraan terpaksa berjalan pelan untuk menghindari lubang. Setelah pemilu, secara bertahap jalan diaspal ulang, dan sekarang kondisinya sudah sangat mulus. Sebagai pengendara motor, tentu aku senang karena tak perlu terganggu lagi oleh lubang-lubang (vespaku 3 kali semaput gara-gara menghantam lubang). Namun, pekan ini statusku adalah pejalan kaki. Dan akhir-akhir ini aku benar-benar jengkel!!!
Coba anda renungkan... kalau dipikir-pikir, pejalan kaki di kota Bandung (yang ngakunya) Bermartabat ini benar-benar tidak diperlakukan sebagai manusia. Apakah anda pernah melihat trotoar yang representatif untuk keamanan dan kenyamanan pejalan kaki? Nyaris nihil! Memang ada trotoar yang lebar di beberapa lokasi di pusat kota (alun-alun, pasar baru), tapi lihatlah, para pedagang kaki lima telah menguasainya. Otomatis pejalan kaki berjalan di bahu jalan dengan risiko terserempet becak, kecipratan genangan air, atau paling tidak diklakson oleh mobil yang merasa terhalangi jalannya.
Begitu pula kondisi trotoar di simpang dago dan tubagus ismail yang sangat ramai oleh pejalan kaki. Di simpang dago, trotoar, bahkan bahu jalan, telah beralih fungsi menjadi pasar tradisional. Ditambah lagi angkot-angkot yang ngetem sehingga
space jalan semakin sempit. Jalan tubagus ismail, trotoar hanya ada sampai beberapa ratus meter dari persimpangan. Itu pun dengan kondisi yang nyaris hancur sehingga seringkali becek ketika turun hujan. Sisanya, jalan tanah! Aku pun harus mengangkat celana ke atas tumit agar tidak terkena cipratan air dan lumpur.
Space yang sempit antara rumah-rumah dan bahu jalan juga mengakibatkan risiko terserempet kendaraan. Waktu malam, lebih parah lagi! Bayangkan, apakah layak disebut kota kalau lokasi perumahan yang cukup ramai tidak dilengkapi penerang jalan yang memadai? Ketika pulang malam menyusuri tubagus ismail, aku lebih sering melihat ke bawah untuk menghindari genangan air ketimbang melihat ke depan, karena gelapnya.
Overall, kini bandung memang tidak layak disebut kota yang nyaman, apalagi Bermartabat, jika kita melihat kondisi infrastruktur kota yang sangat menyedihkan.
Sampai kapan para pejalan kaki mempertaruhkan risiko terserempet mobil sampai kecipratan lumpur?
Sampai kapan para PKL harus berjualan di tempat yang seharusnya jadi hak para pejalan kaki?
Sampai kapan penduduk kota, anak-anak sampai mahasiswa harus tinggal dalam gang-gang sempit serta rumah-rumah yang berdempet-dempetan tidak keruan?
Sampai kapan kita harus menggunakan angkot yang berhenti seenaknya di jalan, atau menghadapi ulah supir yang selalu memadat-madatkan penumpang hingga berdesak-desakan?
Apakah sampai terjadi Bandung Lautan Api jilid II???
halo-halo bandung
ibukota periangan
halo-halo bandung
kota kenang-kenangan
sudah lama beta
tidak berjumpa dengan kau
sekarang telah menjadi lautan api
mari bung rebut kembali
(halo-halo bandung - ismail marzuki, 1948)