8.2.05

jurnalku yang tercecer (II)

Kuala Lumpur, 10 Juli 2004, 8.36pm

Hari ke-2 di KL, sepertinya saya jatuh cinta pada kota ini. Walaupun tidak sebersih di Melbourne dan kota-kota di negara maju, tampaknya perencanaan kota ini baik sekali. Sangat nyaman bila kita berjalan kaki. Trotoar-trotoar di sini sangat lebar dan sudah pasti bebas kakilima. Tapi bukan berarti tak ada PKL. PKL berada pada tempat yang memang diperuntukkan untuk berdagang. Mulai dari pedagang souvenir sampai makanan, semuanya ada. Di area pedagang makanan, tidak saya temui lalat-lalat beterbangan. Tampaknya para pedagang sudah sadar untuk menjaga kebersihan. Mungkin juga takut, karena jika mereka buang sampah merata-rata, siap-siap untuk merogoh kocek dalam-dalam: RM1000! Bagi saya yang penggemar makan, makan di kedai-kedai maupun lapak-lapak kakilima sangat nyaman, karena itu tadi, bersih dan bebas lalat!

Para pengguna kendaraan di KL pun sangat 'berperikemanusiaan'. Mengapa saya sebut begitu, karena yang saya temui di Jakarta, Bogor, dan Bandung, mereka sangat 'buas'. Mentang-mentang motor/mobilnya kencang, langsung salip sana salip sini sambil meraung-raungkan knalpotnya hingga memekakkan telinga. Sampai sekarang belum saya temui knalpot motor khususnya yang berbunyi hingga memekakkan telinga, seperti saat kampanye terbuka atau konvoi para bobotoh Persib. Para pengguna motor pun, walau motor mereka dapat berlari sangat kencang, berjalan sangat tertib di KL.



Sekarang kita tengok budaya berbusananya, khususnya orang-orang melayu yang notabene muslim/muslimah. Tampaknya susah sekali menemukan perempuan melayu yang memakai 'baju adik' sampai perut atau punggung mulusnya terlihat. Walaupun tak semuanya berbusana muslimah (jilbab), namun yang tak berjilbab pun tetap berpakaian dengan sopan dan cukup tertutup. Hal ini sangat berbeda dengan cara berpakaian banyak gadis-gadis Indonesia yang sebagian besarnya muslimah, khususnya di kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta. Kedua pihak (melayu Malaysia dan Indonesia) memaknai modernitas secara berbeda. Orang Malaysia memaknai substansinya, seperti tertib, disiplin, menjaga kebersihan. Orang Indonesia menganggap modernitas seperti yang dipraktekkan para selebritis; berbusana seronok.



Setelah saya menonton AFI versi Malaysia atau Akademi Fantasia, tampak bahwa pihak media pun turut berusaha untuk menjaga norma-norma kepatutan. Para pelajar (akademia) perempuan berbusana cukup tertutup ketika konser. Kita bisa bandingkan sendiri dengan busana para akademia. Para pelajar perempuan berpakaian dengan tidak memamerkan bagian-bagian yang cukup merangsang seperti belahan dada, paha, dan perut/pusar. Sedangkan kita sudah 'terbiasa' melihat hal-hal itu dari para akademia.

O ya, satu lagi. Para perempuan Malaysia, gadis-gadis atau ibu-ibu yang berbusana muslimah, sangat senang memakai gamis bermotif kembang-kembang berwarna bright. Sehingga bila kita lihat di jalan-jalan, pemandangan mereka sangat eye-catchy walau tetap sedap dipandang. Hal itu juga merupakan alasan kenapa saya jatuh cinta pada kota ini.

2 comments:

za said...
This comment has been removed by a blog administrator.
za said...

Hmm, ke Malaysia nih yee. Memang perkembangan negara itu mencengangkan. Aku sempet mengagung-agungkan Mahathir banget. Tapi ada juga sisi negatifnya juga kok Malaysia. Beli buku banyak dong Dil. Hay, aku juga belum sempet mampir ke kosmu! Ya udah, bilang-bilang yah klo dah ke Bandung lagi.

Soal foto, bisa deh ku kasih teori dikit2. Kamu moto pake kamera pocket-digital atau SLR? Kalau pake pocket-digital lebih mudah untuk belajar, dan hasilnya juga bisa langsung dilihat. Klo SLR lebih susah tapi lebih banyak yang bisa diperbuat.