hehe, belum pernah ditilang, sekali-kalinya ditilang sama POM AU (Polisi Militer Angkatan Udara). jadi gini ceritanya... sabtu kemarin ada acara bedah buku di Habiburrahman, masjid PTDI. masjid itu termasuk areal pangkalan militer AU. Tapi karena pada beberapa kesempatan yang lalu nggak pernah diapa-apain, jadilah aku santai aja masuk wilayah itu. selepas acara, di gerbang keluar ada pemeriksaan oleh personel POM AU itu. Motorku disuruh parkir dan orang itu lalu memeriksa surat-surat motorku. Pendek cerita, akhirnya aku dikasih surat tilang di dalam pos.
anehnya, proses untuk memberikan surat tilang itu koq terasa begitu lama, padahal sebetulnya sih simpel-simpel aja. Sebelumnya orang itu memberikan pengarahan; "ini area militer mas, tidak boleh seenaknya masuk... bla bla bla!" Lalu prajurit itu pergi ke pos dengan membawa sim+stnk-ku, without any single word, buzz, pergi ajah...! aku kan blom pengalaman kena tilang, jadi kukira disuruh tunggu di motor. 5 menit, 10 menit, ngga ada tanda-tanda si prajurit bakal keluar dari pos. dengan jengkel yang ditahan, pergilah aku ke pos. Lalu si soldier itu melihatku; "masuk aja mas, duduk dulu!". di dalam, ia mengulangi lagi 'wejangannya'; "itu kan ada tanda verboden mas, jadi kalau mau masuk lapor dulu... bla bla bla!" "tapi itu koq yang lain pada masuk aja pak?", tanyaku. "mereka itu pada punya stiker mas!" oh begitu... padahal aku lihat banyak juga yang tidak pakai stiker... "jadi selanjutnya gimana pak?" tanyaku lagi. "Iya sebentar mas". lalu aku tetap menunggu, sementara si prajurit terlihat seperti tidak melakukan apa-apa. Beberapa menit kemudian, akhirnya ia mengeluarkan kertas seperti nota dari laci, and it turned out to me as surat tilang. "jadi sekarang mas saya kasih surat tilang aja, hari senin jam 8 datang ke kantor. karena mas orang sipil mungkin akan dilimpahkan ke polisi. Jadi ingat mas, ini area militer... bla bla bla bla!" ia mengulangi lagi wejangannya. Uhh, iya iya... jengkelnya, hanya untuk memberikan selembar surat tilang aja kok terkesan dilama-lamain, mungkin ada kali 30 menit. ada apa sih? apa itu suatu bentuk hukuman... atau (mudah-mudahan ngga) personel PM itu secara halus menawarkan solusi 'damai'...? tapi apa iya, masak PM jadi sama aja kaya oknum polisi?
pagi tadi aku pun ke kantor POM AU. Petugas di sana - lagi-lagi - mengulangi wejangan yang sama. "kalau sampeyan sering ada acara di sini, harus pakai izin tetap." aku sudah tau bahwa izin tetap itu adalah stiker yang dapat dibeli di pos seharga 20ribu perak. "ah ngga lah pak, saya cuma sekali-kali aja koq!". Aku lalu bertanya, "pak, mestinya kan saya dicegat sebelum masuk, kemarin itu koq setelah saya mau keluar baru dicegat?". Iya kan, seharusnya kalau mau menjaga keamanan, setiap kendaraan asing yang akan melintas masuk mesti diperiksa, bukan setelah keluar baru diperiksa. kalau seandainya aku teroris dan sudah terlanjur menaruh bom di sana gimana, mereka tidak tau apa-apa kan? "iya, harusnya kalau mau masuk sampeyan minggir dulu ke pos.", petugas itu tidak menjawab pertanyaanku... selanjutnya ia menawarkan apakah masalahnya diselesaikan di sini atau dilimpahkan ke polisi. "ya, kalau sampeyan merasa nyaman, atau punya kenalan polisi, tidak apa-apa kalau diselesaikan di polisi aja." "kalau diselesaikan di sini aja gimana pak?" tanyaku. "yaa, boleh... bayar aja ongkos administrasinya." Akhirnya setelah membayar 15ribu, aku dapat memperoleh SIM-ku kembali.
karena ngga ngerti hukum, aku malah jadi bingung, kok ya bisa petugas itu menawarkan dua alternatif seperti itu... yang benar yang mana??
oh... Indonesiaku...
anehnya, proses untuk memberikan surat tilang itu koq terasa begitu lama, padahal sebetulnya sih simpel-simpel aja. Sebelumnya orang itu memberikan pengarahan; "ini area militer mas, tidak boleh seenaknya masuk... bla bla bla!" Lalu prajurit itu pergi ke pos dengan membawa sim+stnk-ku, without any single word, buzz, pergi ajah...! aku kan blom pengalaman kena tilang, jadi kukira disuruh tunggu di motor. 5 menit, 10 menit, ngga ada tanda-tanda si prajurit bakal keluar dari pos. dengan jengkel yang ditahan, pergilah aku ke pos. Lalu si soldier itu melihatku; "masuk aja mas, duduk dulu!". di dalam, ia mengulangi lagi 'wejangannya'; "itu kan ada tanda verboden mas, jadi kalau mau masuk lapor dulu... bla bla bla!" "tapi itu koq yang lain pada masuk aja pak?", tanyaku. "mereka itu pada punya stiker mas!" oh begitu... padahal aku lihat banyak juga yang tidak pakai stiker... "jadi selanjutnya gimana pak?" tanyaku lagi. "Iya sebentar mas". lalu aku tetap menunggu, sementara si prajurit terlihat seperti tidak melakukan apa-apa. Beberapa menit kemudian, akhirnya ia mengeluarkan kertas seperti nota dari laci, and it turned out to me as surat tilang. "jadi sekarang mas saya kasih surat tilang aja, hari senin jam 8 datang ke kantor. karena mas orang sipil mungkin akan dilimpahkan ke polisi. Jadi ingat mas, ini area militer... bla bla bla bla!" ia mengulangi lagi wejangannya. Uhh, iya iya... jengkelnya, hanya untuk memberikan selembar surat tilang aja kok terkesan dilama-lamain, mungkin ada kali 30 menit. ada apa sih? apa itu suatu bentuk hukuman... atau (mudah-mudahan ngga) personel PM itu secara halus menawarkan solusi 'damai'...? tapi apa iya, masak PM jadi sama aja kaya oknum polisi?
pagi tadi aku pun ke kantor POM AU. Petugas di sana - lagi-lagi - mengulangi wejangan yang sama. "kalau sampeyan sering ada acara di sini, harus pakai izin tetap." aku sudah tau bahwa izin tetap itu adalah stiker yang dapat dibeli di pos seharga 20ribu perak. "ah ngga lah pak, saya cuma sekali-kali aja koq!". Aku lalu bertanya, "pak, mestinya kan saya dicegat sebelum masuk, kemarin itu koq setelah saya mau keluar baru dicegat?". Iya kan, seharusnya kalau mau menjaga keamanan, setiap kendaraan asing yang akan melintas masuk mesti diperiksa, bukan setelah keluar baru diperiksa. kalau seandainya aku teroris dan sudah terlanjur menaruh bom di sana gimana, mereka tidak tau apa-apa kan? "iya, harusnya kalau mau masuk sampeyan minggir dulu ke pos.", petugas itu tidak menjawab pertanyaanku... selanjutnya ia menawarkan apakah masalahnya diselesaikan di sini atau dilimpahkan ke polisi. "ya, kalau sampeyan merasa nyaman, atau punya kenalan polisi, tidak apa-apa kalau diselesaikan di polisi aja." "kalau diselesaikan di sini aja gimana pak?" tanyaku. "yaa, boleh... bayar aja ongkos administrasinya." Akhirnya setelah membayar 15ribu, aku dapat memperoleh SIM-ku kembali.
karena ngga ngerti hukum, aku malah jadi bingung, kok ya bisa petugas itu menawarkan dua alternatif seperti itu... yang benar yang mana??
oh... Indonesiaku...
1 comment:
Kejadian ini juga saya alami tadi tgl 18 desember 2007.., ngomong sampai berbusa UUD (ujung ujung nya Duit..Oknum nya seorang berpangkat Pratu Bernama Suheri..
harusnya komandan Pangkalan Lanud husein harus menindak itu oknum..padahal masarakat sekitar rame yang nonton..
malu dong pak komandan..itu anak buah pecat aja tu
Post a Comment