22.10.04

The Lost Virtue

Sedikit banyak, sadar tak sadar, pola pikir materialisme memang telah merasuk secara sistematis ke kepala kebanyakan orang Indonesia. O oh, what's wrong with my country?? Saya teringat dengan sebuah perbincangan singkat dengan seorang dosen IPB dalam shuttlebus yang tengah melaju di Johor Bahru, Malaysia. Ia mengeluhkan, bahwa bangsa kita, baik itu pemerintah maupun rakyatnya, telah kehilangan apa yang disebut dengan virtue, nilai kebajikan. Pemerintah yang seharusnya melayani rakyatnya, berbuat sesuka hati, mengkorup uang rakyat, menelantarkan kesejahteraan dan pendidikan. Akibatnya, rakyat pun juga berbuat seenaknya. Tidak mematuhi peraturan, vandalism, perampasan hak, dan pelbagai penyakit lainnya. Pantaslah kalau bangsa kita dijuluki the sick nation, bangsa yang sakit! Ketika mesin penjual minuman kaleng pada sebuah kampus di Malaysia tersambar petir, sehingga kaleng-kaleng minuman berhamburan keluar, tak satupun mahasiswa Malaysia yang mengambil kaleng-kaleng itu. Namun apa yang terjadi? Bagaikan semut, para mahasiswa Indonesia dengan cueknya memunguti kaleng-kaleng itu. Ketika jalanan macet, dengan tenangnya para pengendara motor melintasi pedestrian, dan karena telah terbiasa, para pejalan kaki juga tak ada yang protes. Perampasan hak terjadi dimana-mana, dilakukan oleh siapa saja, menimpa siapa saja, dan uniknya, tanpa disadari!

Dalam hal ini, adalah wara', salah satu nilai kebajikan yang telah terlupakan. Seorang sufi, Muhammad 'Abdul 'Azis Al Mahdiwiyyu, mengatakan bahwa insan yang wara' hanya akan mengambil apa yang diperuntukkan kepada mereka, tidak cenderung dan tamak apa yang ada di tangan makhluk lain. Yang menggembirakan, sifat ini mulai dihidupkan kembali oleh Ketua MPR kita yang menolak sedan mewah Volvo seharga nyaris satu milyar sebagai kendaraan dinas. Padahal secara legal formal, hal ini bukan masalah, karena telah tercakup dalam APBN yang telah disetujui para wakil rakyat. Juga sebelumnya, beberapa gelintir wakil rakyat di daerah yang menolak apa yang disebut dengan uang balas budi, kadeudeuh, fasilitas-fasilitas mewah dari pemerintah, yang boleh jadi menurut hukum yang berlaku, itu bukanlah masalah.

Sebenarnya tidak perlu jauh-jauh memberi contoh, karena ternyata saya baru mengetahui bahwa ibu saya sendiri adalah seorang wara'. Pada awal 90-an, ibu adalah seorang wanita karir yang bekerja di sebuah perusahaan multinasional di Jakarta. Posisinya pun sudah lumayan, setara dengan level manajer. Secara kasat mata, beliau sangat jauh dari kesan sufi atau orang alim. Beliau belum berhijab, tidak pernah mengecap sekolah agama (apalagi mentoring), bergaul dengan para yuppies yang gemar pesta, dan sebagai karyawati, sering meninggalkan suami dan anak-anaknya untuk bekerja. Suatu hari, beliau kaget melihat rekening tabungannya yang membengkak hingga 500 juta rupiah (pada saat itu, jumlah sebanyak ini dapat membeli 4-5 buah baby benz). Alih-alih bergembira, beliau malah mendatangi bank tersebut, yang juga satu holding company dengan perusahaan tempatnya bekerja. Ia telah menduga telah terjadi kesalahan transfer antar rekening, dan ternyata benar. Maka ibu pun memarahi pihak bank itu. Bagaimana tidak marah, kalau kecerobohan itu terus berlanjut, bukan tak mungkin bank tersebut pailit. Dan faktanya, bank itu akhirnya dilikuidasi oleh Mar'ie Muhammad, menteri keuangan era orde baru dahulu. Padahal bisa saja ibu memindahkan uang tersebut ke rekening lain, dan menggunakannya dengan sesuka hati, toh tak ada delik hukum yang bisa menjamahnya, karena itu murni kecerobohan pihak bank.

Memang untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kebajikan ini perlu proses yang sangat panjang. Cara yang efektif adalah keteladanan. Pemimpin kepada rakyatnya, atasan kepada bawahannya, orang tua kepada anaknya, guru kepada muridnya, dan lain sebagainya. Tidak perlu lah gembar-gembor penegakan syari'at islam, kalau ternyata nilai-nilai ini masih banyak terlupakan.

Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih
suci lahir dan di dalam bathin
Tengoklah ke dalam sebelum bicara
Singkirkan debu yang masih melekat
Singkirkan debu yang masih melekat

Anugerah dan bencana adalah kehendakNya
Kita mesti tabah menjalani
hanya cambuk kecil agar kita sadar
Adalah Dia di atas segalanya
Adalah Dia di atas segalanya
(Untuk Kita Renungkan - Ebiet G Ade, 1982)

1 comment:

Akhsayanty said...

fadil..
'penipuan'... beda dengan penipuan pada makna harfiahnya,

terus terang saya tertohok dengan tulisan kamu, well... yah, tapi terserahlah! kalau kamu mau muak dengan saya, it's fine!

'penipuan'..
begini loh, sebebernya jasa telepon selular itu kan digital, seharusnya, dia punya sistem yang bisa 'mengingatkan' konsumen kalau pulsanya minus. saya sering menemui konsumennya yang pas ngisi 100 ribu, tinggal belasan ribu! dan si konsumen kagetterus biasanya ditanggapi 'yah, m3 kalo lagi pake sat-C emang lemot ngitung pulsanya, jadi hati-hati aja...'
jadi, kalau saja konsumen itu bukan pelanggan tetap, seperti saya, tentu dia tidak bisa apa-apa kaena'kebobolan' tanpa ia menyadarinya, kecuali kalo dia nelepon 388, mungkin dia bakalan tau..

yang jelas...
aku no comment sama analogi-analogi kamu yang sudah menyangkut nilai-nilai yang serius itu!

wassalam




mungkin pembahasaan