Sebuah percakapan depan TU fisika di awal semester:
"Eh, eh, pak Hans ngajar kelas ganjil apa genap?"
"kayanya kelas genap deh!"
"Sial, NIM gw ganjil euy!"
Bincang-bincang di teras mushola fisika, tengah semester:
"eh, pa kabar lo? gimana fismat2-nya?"
"uh, buanyak pe-er nih!"
"lo ngambil kelas pak Hans ya? pelajarin aja tuh pe-ernya, soalnya ujian sering keluar dari situ!"
Akhir semester, depan TU fisika:
"Alhamdulillah, fismat2 gw dapet A euy, akhirnya lolos juga!"
"pantes aja dapet A, lha wong soal ujiannya persis banget ama soal pe-er!"
"iya ya, ga nyesel gw ikut kelas pak Hans!"
Sekelumit percakapan sehari-hari mahasiswa fisika ITB yang menggambarkan betapa Hans Jacobus Wospakrik, Ph.D sangat difavoritkan oleh para mahasiswanya. Walau saya belum berkesempatan mengambil mata kuliahnya, sampai sekarang saya tidak pernah mendengar adanya komentar-komentar miring mengenai beliau, khususnya dalam masalah akademik, melainkan sebaliknya.
Kawan-kawan 'seperjuangan' saya di fisika sering bercerita tentang cara mengajar pak Hans. Bahasa Indonesianya sangat baku dan sistematis, tulisan-tulisannya di papan tulis juga sangat jelas dan runtut sehingga mudah dibaca dan dipahami. Selain itu, beliau juga sangat akomodatif terhadap permasalahan akademik mahasiswa. Kawan saya cerita bagaimana pedulinya beliau ketika nilai fismat2nya yang seharusnya A malah tercantum E di transkrip nilai.
26 Desember lalu, beliau terpaksa menjalani perawatan di Rumah Sakit, karena diketahui mengidap leukimia. Ternyata penyakit yang diidapnya telah memasuki stadium lanjut. Akhirnya pada 11 Januari, Tuhan telah mentakdirkannya untuk meninggalkan kita semua.
Ya, dosen favorit mahasiswa itu, seorang pakar mathematical physics tersohor, sang mutiara dari timur, telah pergi meninggalkan kita semua. Mungkin, tak hanya kami para mahasiswa, segenap dosen, namun juga seluruh bangsa Indonesia patut merasa kehilangan akan salah satu "otak cemerlangnya".
Selamat jalan Pak Hans!
Fisikawan dari Papua yang Membuana
Kompas, 5 September 2003
INDONESIA berperadaban yang dicita-citakan masih dapat ditemukan pada Hans Jacobus Wospakrik. Tutur kata dan budi bahasa pria Papua ini sopan berbudaya. Jalannya tegap, setegak ia menjunjung tinggi rasio, kejujuran, dan keterbukaan dalam ilmu yang ia geluti dan kesehariannya, tetapi jauh dari kesan angkuh karena sorot matanya memancarkan kerendahan hati sekaligus ketetapan hati, katakanlah untuk hidup sebagai fisikawan sejati.
"Eh, eh, pak Hans ngajar kelas ganjil apa genap?"
"kayanya kelas genap deh!"
"Sial, NIM gw ganjil euy!"
Bincang-bincang di teras mushola fisika, tengah semester:
"eh, pa kabar lo? gimana fismat2-nya?"
"uh, buanyak pe-er nih!"
"lo ngambil kelas pak Hans ya? pelajarin aja tuh pe-ernya, soalnya ujian sering keluar dari situ!"
Akhir semester, depan TU fisika:
"Alhamdulillah, fismat2 gw dapet A euy, akhirnya lolos juga!"
"pantes aja dapet A, lha wong soal ujiannya persis banget ama soal pe-er!"
"iya ya, ga nyesel gw ikut kelas pak Hans!"
Sekelumit percakapan sehari-hari mahasiswa fisika ITB yang menggambarkan betapa Hans Jacobus Wospakrik, Ph.D sangat difavoritkan oleh para mahasiswanya. Walau saya belum berkesempatan mengambil mata kuliahnya, sampai sekarang saya tidak pernah mendengar adanya komentar-komentar miring mengenai beliau, khususnya dalam masalah akademik, melainkan sebaliknya.
Kawan-kawan 'seperjuangan' saya di fisika sering bercerita tentang cara mengajar pak Hans. Bahasa Indonesianya sangat baku dan sistematis, tulisan-tulisannya di papan tulis juga sangat jelas dan runtut sehingga mudah dibaca dan dipahami. Selain itu, beliau juga sangat akomodatif terhadap permasalahan akademik mahasiswa. Kawan saya cerita bagaimana pedulinya beliau ketika nilai fismat2nya yang seharusnya A malah tercantum E di transkrip nilai.
26 Desember lalu, beliau terpaksa menjalani perawatan di Rumah Sakit, karena diketahui mengidap leukimia. Ternyata penyakit yang diidapnya telah memasuki stadium lanjut. Akhirnya pada 11 Januari, Tuhan telah mentakdirkannya untuk meninggalkan kita semua.
Ya, dosen favorit mahasiswa itu, seorang pakar mathematical physics tersohor, sang mutiara dari timur, telah pergi meninggalkan kita semua. Mungkin, tak hanya kami para mahasiswa, segenap dosen, namun juga seluruh bangsa Indonesia patut merasa kehilangan akan salah satu "otak cemerlangnya".
Selamat jalan Pak Hans!
Fisikawan dari Papua yang Membuana
Kompas, 5 September 2003
INDONESIA berperadaban yang dicita-citakan masih dapat ditemukan pada Hans Jacobus Wospakrik. Tutur kata dan budi bahasa pria Papua ini sopan berbudaya. Jalannya tegap, setegak ia menjunjung tinggi rasio, kejujuran, dan keterbukaan dalam ilmu yang ia geluti dan kesehariannya, tetapi jauh dari kesan angkuh karena sorot matanya memancarkan kerendahan hati sekaligus ketetapan hati, katakanlah untuk hidup sebagai fisikawan sejati.
Berbicara dengan dosen Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengenai fisika teori dan matematika murni adalah perjumpaan dengan keheningan dan kebeningan. Perburuan fisikawan sejagat dari segala abad untuk menjawab apa sebetulnya partikel elementer hingga penjelajahan ke alam semesta dengan teori medan dan geometri diferensial ia tuturkan dalam bahasa linguistis dan bahasa matematis yang bening. Suaranya hening berkarisma hingga pendengarnya dapat mempertahankan konsentrasi berjam-jam.
Kenikmatan menyimaknya, atau membantahnya bila perlu, tak terbatas di bilik kerjanya di kampus Ganesa, tetapi juga di ruang kuliah dan kolokium. Tentu ini tak mengherankan sebab ia kuyup dengan gagasan dan alat analitis yang kuantum, relativistik, maupun yang topologis untuk membuka rahasia kosmos-dari mikro sampai makro-sejak lulus S-1 dari ITB tahun 1976. Dibutuhkan kualifikasi intelijen yang jauh di atas rata-rata untuk tiba di sini.
HANS tak hanya punya kapasitas itu, sebutlah dengan yudisium cum laude saat wisuda sarjananya. Ia giat mengirim karyanya dan dimuat di jurnal berwibawa: Physical Review D dan Journal of Mathematical Physics.
Jadi, dia tak hanya cakap membahas dan mengunyah teori dan pencapaian fisika yang digarap orang lain, tetapi juga berkontribusi pada pengembangan fisika yang tentu dibahas dan dikunyah sejawatnya di berbagai kawasan dunia, di mana fisika mendapat tempat yang patut.
Kesempatan kerja sama dengan Gerardus ’t Hooft di Rijksuniversiteit Utrecht, Belanda (1980-1981), dilanjutkan dengan Martinus JG Veltman di University of Michigan, Ann Arbor, AS (1981-1982), menghasilkan Classical Equation of Motion of a Spinning Nonabelian Test Body in General Relativity atas nama Hans J Wospakrik sendiri di Physical Review D tahun 1982. Kita tahu Hooft dan Veltman mendapat Nobel Fisika (1999).
Yang terbaru adalah dua makalahnya tentang partikel model Skyrme yang dimuat di dua terbitan Journal of Mathematical Physics, (42) 2001 dan (43) 2002. Keduanya ia garap bersama promotornya, Prof Dr Wojtek Zakrzewski, selama studi PhD di Durham University, Inggris (1999-2002). Makalah dan pemuatannya di jurnal itu menjadi penting karena dua hal.
Pertama, model Skyrme adalah rute yang relatif baru untuk menjawab apa itu partikel setelah dua mazhab sebelumnya: partikel titik dan string. Jika partikel dianggap sebagai titik yang tak berdimensi dalam mazhab partikel titik, dan sebagai dawai berdimensi satu dalam mazhab string, maka model Skyrme yang nonlinier ini mengasumsikan partikel sebagai bola berdimensi tiga. Kini ketiga mazhab sedang bertarung, mana yang bakal berjaya menjawab tuntas apa yang harus dipunyai suatu partikel sehingga ia yang paling elementer dari segala yang renik.
Dibangun oleh Tom Skyrme dari Universitas Birmingham tahun 1959 selagi mengajar di Universitas Malaya, Kuala Lumpur, pamornya tertekan oleh popularitas partikel titik, makin tertekan sebab string sempat menjanjikan sebagai kandidat yang bakal berhasil. Model Skyrme naik daun setelah Edward Witten dari Princeton dan AP Balachandran dari Syracuse, dua otoritas berwibawa, ikut menggarapnya. Pusat penggarapan yang intensif saat ini: Durham University tempat Hans menyelesaikan PhD tahun lalu.
Kedua, posisi internasional Hans cukup sentral dalam model Skyrme. Dia membuka jalur lain, mencari besaran fisika yang kekal menggunakan soliton topologi dan menyelesaikan persamaan nonlinier dengan mengelak masuk ke dalam perturbasi. Dengan itu, fisikawan kelahiran Serui, Papua, 10 September 1951, ini menembus Journal of Mathematical Physics yang sangat bergengsi. Rekannya di ITB mengatakan Hans orang pertama Indonesia yang tulisannya masuk di situ.
Dalam surat elektroniknya menjawab kami, Zakrzewski memandang Hans sebagai mahasiswa yang sangat pandai, inventif, banyak gagasan, dan sangat kuat matematikanya. Ia selalu siap memulai hitungan panjang dan rumit, membagi pekerjaan itu jadi unit kecil yang manageable, kemudian menggarapnya sampai menemukan jawaban terakhir.
"Pekerjaannya dalam Skyrmion masuk kategori top class," tulis Zakrzewski. "At the same time he was a very charming person, friendly, and helpful-a great ambassador for his country."
DIKENAL lama sebagai fisikawan cemerlang, pada Hans timbul pertanyaan mengapa terlambat beroleh PhD. Barangkali ada soal birokrasi yang sulit dijelaskan hingga keberangkatannya tertunda. Namun, anak keempat dari 10 bersaudara pasangan Tom Wospakrik (yang guru) dan Lydia itu tak menyalahkan siapa pun. "Saya datang di Durham pada saat yang tepat ketika profesor saya memikirkan metode matematika mempelajari soliton berdimensi-N," katanya santun. "Kalau lebih awal, saya tidak kebagian. Datang terlambat, sudah diambil murid lain."
Dalam masa penantian untuk studi PhD, suami Regina Wospakrik-Sorentau dan ayah dari Willem (19) dan Marianette (17) itu tidak diam. Ia giat riset sendiri dan menghasilkan lima makalah, terbit di Physical Review D (1989), Modern Physics Letters A (1986 dan 1989), International Journal of Modern Physics (1991). Prestasi begini jarang dicapai fisikawan kita sekembali dari luar negeri.
Adalah Rebet Ratnadi, gurunya di SMA Negeri Manokwari, yang menggairahkannya belajar relativitas ketika memperkenalkan konsep garis lengkung (bukan garis lurus) sebagai penghubung terpendek dua titik. Sejak itu ia menetapkan pilihan pada Fisika dan melesat hingga mengenal dekat seluruh gagasan besar fisika partikel dan kosmologi.
Tak mengherankan kalau ia mencapai tahap "dapat melihat keindahan dalam fisika dan matematika". "Keindahan yang kita temukan dengan berkeringat itu mungkin sisa-sisa dari Taman Firdaus sebelum kita diusir Tuhan," katanya.
Khalayak dapat menikmati tuturannya yang terang mengenai relativitas umum melalui buku populer Berkenalan dengan Teori Kerelatifan Umum Einstein dan Biografi Albert Einstein (Penerbit ITB, 1987). Skripsi sarjananya yang dibimbing Dr Jorga Ibrahim tentang teori besar ini di sekitar bintang bermuatan listrik. Di situ potret Einstein tersemat.
Anda pengagum berat Einstein?
Sebentar ia diam. Ia buka tasnya: naskah buku populer Dari Atomos hingga Quark yang belum ia serahkan kepada penerbit mana pun, tentang partikel elementer dari atom masa Democritos hingga quark yang dikenal di abad ke-20. "Dengan menulis buku ini, kekaguman saya kepada para fisikawan merata," katanya. "Einstein salah satu."
Hans tengah menyelesaikan makalah untuk dikirim ke Journal of Mathematical Physics. Usaha mengisi jurnal kelak bakal terhambat oleh tugas rutin: mengajar. Kalau ada dana, ia bisa terus bekerja membiakkan gagasan dan metode membongkar rahasia alam. Akan tetapi, untuk apa dana? Bukankah pekerjaan fisika teori tidak memerlukan laboratorium atau bahan, cukup dengan berpikir?
"Dana itu membuat kita tenang bekerja," katanya. "Yang membuat kita tidak tenang adalah soal underpaid itu." (SALOMO SIMANUNGKALIT)
No comments:
Post a Comment