Desa Cidatar, kira-kira berjarak 15-20 km dari Kota Garut. Di sana, saya bersama kedua orang sahabat mereguk indahnya persaudaraan di jalan Allah. Kami berangkat bersama menggunakan sepeda motor. Saya menumpang sepeda motor seorang sahabat mengikuti sahabat yang lain (yang juga shahibul bayt) dari belakang menuju kampung halamannya. Di tengah perjalanan antara Bandung-Garut yang kerapkali menanjak, kami sempat dibuat cemas melihat bebek C70 sahabat kami terbatuk-batuk seperti kena TBC (Bedanya, kalau sepeda motor TBC, batuknya mengeluarkan percikan api). Alhamdulillah Allah menyelamatkan kami bertiga sampai tujuan. Kami disambut oleh kedua orang tua sahabat kami dengan kebersahajaan dan kehangatan khas urang sunda.
Esoknya, menyongsong fajar 2005, kami disegarkan oleh tausiyah yang disampaikan secara bergantian oleh kami sendiri. Dari balkon saung tempat kami bermalam, tampak dua buah gunung mengapit kami. Di antara Cikuray dan Papandayan, kami berjalan-jalan mengelilingi kebun. Ada cabai, tomat, kubis, ketela, tumbuh dengan suburnya. Lalu kami memancing di sebuah kolam. Kedua sahabatku tampak sangat berpengalaman. Mereka tahu bagaimana cara mencari cacing untuk dijadikan umpan di sela-sela pelepah pohon pisang. Saya yang 'anak kota' hanya terpekur melihat kebolehan mereka. Akan tetapi, namanya juga udah lama tidak tinggal di kampung, mereka juga cukup kesulitan untuk memperoleh ikan yang besar. Akhirnya kakak sahabatku turun tangan. Dalam hitungan menit ia sudah berhasil menangkap ikan nila yang besar-besar.
Lepas memancing, sang kakak membawa ikan-ikan itu ke saung untuk dibakar. Yummy... saya baru tahu kalau ikan nila juga sangat lezat apabila dibakar. Apalagi dimakan bersama nasi hangat ditemani kecap campur cabai rawit dan bawang merah serta sambal colek... Subhanallah!!! (aduh, makin bengkak nih badan...). Disertai semilir angin sejuk, disaksikan sang Papandayan dan sang Cikuray, kami pun makan bersama.
Alam Periangan memang sangat indah. Bahkan menurut saya melebihi keindahan pegunungan Alpen. Saya jadi paham kekaguman M.A.W Brouwer ketika berkata: Tuhan menciptakan alam Periangan ketika sedang tersenyum.
Esoknya, menyongsong fajar 2005, kami disegarkan oleh tausiyah yang disampaikan secara bergantian oleh kami sendiri. Dari balkon saung tempat kami bermalam, tampak dua buah gunung mengapit kami. Di antara Cikuray dan Papandayan, kami berjalan-jalan mengelilingi kebun. Ada cabai, tomat, kubis, ketela, tumbuh dengan suburnya. Lalu kami memancing di sebuah kolam. Kedua sahabatku tampak sangat berpengalaman. Mereka tahu bagaimana cara mencari cacing untuk dijadikan umpan di sela-sela pelepah pohon pisang. Saya yang 'anak kota' hanya terpekur melihat kebolehan mereka. Akan tetapi, namanya juga udah lama tidak tinggal di kampung, mereka juga cukup kesulitan untuk memperoleh ikan yang besar. Akhirnya kakak sahabatku turun tangan. Dalam hitungan menit ia sudah berhasil menangkap ikan nila yang besar-besar.
Lepas memancing, sang kakak membawa ikan-ikan itu ke saung untuk dibakar. Yummy... saya baru tahu kalau ikan nila juga sangat lezat apabila dibakar. Apalagi dimakan bersama nasi hangat ditemani kecap campur cabai rawit dan bawang merah serta sambal colek... Subhanallah!!! (aduh, makin bengkak nih badan...). Disertai semilir angin sejuk, disaksikan sang Papandayan dan sang Cikuray, kami pun makan bersama.
Alam Periangan memang sangat indah. Bahkan menurut saya melebihi keindahan pegunungan Alpen. Saya jadi paham kekaguman M.A.W Brouwer ketika berkata: Tuhan menciptakan alam Periangan ketika sedang tersenyum.
No comments:
Post a Comment