Pendahuluan
Pada tinjauan pustaka ini, saya akan membahas salah satu topik dalam perbankan Islam, yaitu sistem pembiayaan pada bank syariah. Dalam membahas topik ini, saya meninjau tiga buku tentang perbankan Islam, yakni: Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik karya Muhammad Syafi’i Antonio, Al Qur’an: Menuju Sistem Moneter yang Adil karya Umer Chapra, dan Interest-Free Commercial Banking karya Abdul Gafoor.
Berdasarkan ketiga buku di atas, secara umum topik di atas terdiri dari tiga sub-topik, yaitu: pembiayaan investasi (investment financing), pembiayaan konsumtif (trade financing), dan pembiayaan modal kerja (lending).
Kapasitas ketiga penulis di atas dalam bidang ekonomi Islam, khususnya perbankan, tidak diragukan lagi. Muhammad Syafi’i Antonio adalah seorang pakar dan praktisi perbankan syariah dan sudah sejak lama bergelut di dunia perbankan syariah Indonesia. Umer Chapra adalah guru besar di bidang ekonomi Islam di Pakistan dan praktisi perbankan syariah yang kiprahnya diakui di skala internasional. Sedangkan Abdul Gafoor adalah pengamat perbankan Islam asal Malaysia dengan reputasi internasional.
Dengan meninjau ketiga buku dari ketiga tokoh perbankan Islam dari tiga negara yang berbeda ini, diharapkan dapat membuka cakrawala wawasan kita tentang sistem pembiayaan pada perbankan syariah dan menawarkan solusi terbaik bagi umat untuk memperoleh pendanaan yang bebas riba.
I. Pembiayaan Investasi
Pembiayaan investasi adalah pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu. Pembiayaan investasi diberikan kepada para nasabah untuk keperluan investasi, yaitu keperluan penambahan modal guna mengadakan rahabilitasi, perluasan usaha, ataupun pendirian proyek baru. Ciri-ciri pembiayaan investasi adalah:
1. Untuk pengadaan barang-barang modal.
2. Mempunyai perencanaan alokasi dana yang matang dan terarah.
3. Berjangka waktu menengah dan panjang.
Pada bank syariah, pembiayaan investasi menggunakan skema musyarakah mutanaqishah. Dalam hal ini, bank memberikan pembiayaan dengan prinsip penyertaan. Secara bertahap, bank melepaskan penyertaannya dan pemilik perusahaan akan mengambil alih kembali, baik dengan menggunakan surplus cashflow yang tercipta maupun dengan menambah modal, baik yang berasal dari setoran pemegang saham yang ada maupun dengan mengundang pemegang saham baru. (Muhammad Syafi’i Antonio, 2001: 167)
Terdapat tiga macam pembiayaan investasi: musyarakah, mudharabah, dan pembiayaan berdasarkan estimated rate of return. Pada skema musyarakah, bank ikut mengambil bagian dalam suatu usaha dan kedua belah pihak (bank dan nasabah) berpartisipasi dalam berbagai aspek pada suatu proyek atau usaha dengan derajat tertentu. Keuntungan dan kerugian ditanggung kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Setelah berlalunya periode awal yang telah ditentukan, bank dapat menarik diri dalam pembiayaan secara bertahap.
Pada skema mudharabah, bank menanamkan dana dan nasabah atau klien menangani masalah teknis, manajemen, dan tenaga kerja. Keuntungan dibagi pada kedua belah pihak dengan proporsi yang telah disepakati, namun jika terjadi kerugian, bank harus menanggung total kerugian tersebut.
Pada pembiayaan berdasarkan estimated rate of return, bank memperkirakan tingkat pengembalian modal yang diinginkan pada proyek tertentu kemudian menyediakan pembiayaan ketika klien menyanggupi membayar tingkat pengembalian tersebut kepada bank. Jika keuntungan melebihi tingkat pengembalian, maka klien dapat memperoleh kelebihan tersebut. Jika keuntungan kurang dari tingkat pengembalian, maka bank menurunkan tingkat pengembalian. Jika klien mengalami kerugian, bank ikut menanggung kerugian tersebut. (Abdul Gafoor, 1995: 43)
Sedangkan menurut Umer Chapra, mudharabah adalah suatu bentuk organisasi yang di dalamnya seorang pengusaha (mudharib) menyediakan manajemen tetapi dananya dari pihak lain, berbagi keuntungan dengan penyandang dana (shahibul maal, investor) dalam suatu perjanjian yang disepakati. Penyandang dana membiayai pengusaha tidak dalam kapasitasnya sebagai pemberi pinjaman melainkan sebagai investor. Dia adalah pemilik atas seluruh atau sebagian usaha dan berbagi risiko bisnis sebesar keikutsertaannya dalam keseluruhan biaya usaha. Pengusaha mengelola dana investasi dengan keleluasaan yang diberikan penyandang dana sesuai dengan kesepakatan.
Syirkah atau musyarakah adalah suatu bentuk organisasi usaha yang di dalamnya dua orang atau lebih mengambil bagian baik dalam pembiayaan maupun dalam manajemen usaha, dalam proroporsi yang sama atau tidak sama besar. Laba dapat dibagi dengan perbandingan setara yang disepakati bersama. Meskipun demikian, kerugian harus dipikul secara proporsional sesuai dengan besarnya perbandingan modal usaha. (Umer Chapra, 1997: 44-45)
II. Pembiayaan Konsumtif
Pembiayaan konsumtif diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Seperti yang telah diketahui secara umum, kebutuhan konsumsi terdiri dari kebutuhan primer (makanan,minuman,tempat tinggal, pakaian, pelayanan kesehatan, pendidikan) dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan tambahan, yang secara kuantitatif maupun kualitatif lebih tinggi atau lebih mewah dari kebutuhan primer.
Bank syariah menyediakan pembiayaan komersial untuk pemenuhan kebutuhan barang konsumsi dengan menggunakan skema berikut ini:
1. Al bai’ bi tsaman ajil atau jual beli dengan angsuran.
2. Al ijarah al muntahia bittamlik atau sewa beli.
3. Al musyarakah mutanaqishah atau decreasing participation: pihak bank secara bertahap menurunkan jumlah partisipasinya.
4. Ar Rahn untuk memenuhi kebutuhan jasa.
Pembiayaan konsumsi di atas digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sekunder. Pada umumnya kebutuhan primer tidak dapat dipenuhi dengan pembiayaan ini. Seseorang yang belum mampu mencukupi kebutuhan primernya dikategorikan fakir atau miskin. Maka ia wajib diberi zakat atau sedekah, atau maksimal diberikan pinjaman kebajikan (al qardh al hasan), yaitu pinjaman dengan kewajiban pengembalian pinjaman pokoknya saja, tanpa imbalan apapun. (Muhammad Syafi’i Antonio, 2001: 168)
Menurut Abdul Gafoor, pembiayaan konsumsi terdiri dari mark-up, leasing, hire-purchase, sell-and-buy-back, dan letters of credit.
Disebut mark-up apabila pihak bank membeli barang yang diinginkan klien dengan kesepakatan bahwa klien setuju untuk membayar barang itu beserta keuntungannya kepada bank. Leasing; dimana bank membeli barang yang diinginkan klien dan menyewakannya kepada klien dengan periode yang disepakati bersama. Di akhir periode, klien membayar selisih harga yang disepakati di awal periode kepada bank untuk menjadi pemilik barang tersebut. Skema hire-purchase hampir sama dengan leasing. Bedanya klien hanya membayar sewa dengan periode tertentu yang telah disepakati dan pada akhir periode, klien secara otomatis menjadi pemilik barang tersebut. Jika klien menjual salah satu barang miliknya kepada bank dengan harga yang disepakati bersama dengan syarat ia akan membeli kembali barang itu setelah periode tertentu dengan harga yang telah disepakati. Skema ini dinamakan sell-and-buy-back. Letters of credit adalah skema dimana bank menggaransi atau menjamin impor suatu barang dengan dananya sendiri untuk pihak klien, lalu kedua pihak berbagi keuntungan dari hasil penjualan barang tersebut. (Abdul Gafoor, 1995: 43-44).
Pada buku Umer Chapra, tidak ada pembahasan secara khusus mengenai pembiayaan konsumtif, namun penulis mendapatkan skema yang dapat digunakan pada pembiayaan konsumtif pada sub-bab yang membahas bank komersial. Skema-skema itu adalah: leasing dan bay’ al muajjal.
Ada dua macam leasing: financial lease dan operating lease. Financial lease menyangkut persetujuan yang tidak dapat dibatalkan antar bank dan konsumennya agar bank membeli suatu aset tertentu dan menyewakannya kepada konsumen untuk jangka waktu menengah atau panjang. Pada akhir periode yang disepakati, aset tersebut dikembalikan kepada bank. Operating lease berbeda dari financial lease dalam dua hal. Pertama, bahwa operating lease dapat dibatalkan dan biasanya dilakukan hanya untuk periode yang relatif lebih singkat. Kedua, dalam operating lease, bank bertanggung jawab sepenuhnya atas biaya pemilikan.
Bay’ al muajjal adalah istilah untuk mengacu pada suatu kesepakatan yang di dalamnya pembelian barang oleh bank dikehendaki oleh konsumennya yang membutuhkan barang tersebut, dan kemudian menjual barang tersebut kepada konsumen dengan harga yang disepakati dengan memberikan keuntungan tertentu kepada bank. Pembayaran dilakukan oleh konsumen dalam periode tertentu yang ditentukan dengan cara kredit atau tunai. (Umer Chapra, 1997: 145-148)
III. Pembiayaan Modal Kerja
Pembiayaan modal kerja adalah pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan: (a) peningkatan produksi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif; (b) untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang.
Unsur-unsur modal kerja terdiri dari komponen-komponen alat likuid (cash), piutang dagang (receivable), dan persediaan (inventory) yang umumnya terdiri dari persediaan bahan baku (raw material), persediaan barang dalam proses (work in process), dan persedian barang jadi (finished goods). Oleh karena itu, pembiayaan modal kerja merupakan salah satu atau kombinasi dari pembiayaan likuiditas (cash financing), pembiayaan piutang (receivable financing), dan pembiayaan persediaan (inventory financing).
Bank syariah dapat membantu memenuhi seluruh kebutuhan modal kerja tersebut bukan dengan meminjamkan uang, melainkan dengan menjalin kemitraan dengan nasabah, dimana bank bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), sedangkan nasabah sebagai pengusaha (mudharib). Skema pembiayaan semacam ini disebut dengan mudharabah (trust financing). Fasilitas ini dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu, sedangkan bagi hasil dibagi secara periodik dengan nisbah yang disepakati. Setelah jatuh tempo, nasabah mengembalikan jumlah dana tersebut beserta porsi bagi hasil yang menjadi bagian bank. (Muhammad Syafi’i Antonio, 2001: 160-162)
Abdul Gafoor memaparkan pembiayaan modal kerja ini dengan cukup singkat. Pembiayaan ini terdiri dari: pinjaman dengan ongkos pelayanan (loans with a service charge), pinjaman tanpa ongkos (no-cost loans), dan overdrafts.
Pinjaman dengan ongkos pelayanan adalah pinjaman yang diberikan bank tanpa bunga, namun untuk menutupi pengeluarannya, bank menetapkan ongkos pelayanan. Penetapan ongkos pelayanan maksimal dilakukan oleh pihak yang berwenang (pemerintah). Pinjaman tanpa ongkos dan overdrafts diberikan bank kepada golongan ekonomi lemah seperti petani kecil, wiraswasta, produsen kecil, dan sebagainya. Dana pinjaman ini diperoleh dengan menyisihkan sebagian pendapatan bank. (Abdul Gafoor, 1995: 44)
Dalam buku Umer Chapra, penulis tidak menemukan pembahasan yang berkenaan pembiayaan modal kerja. Nampaknya Umer Chapra menggeneralisasikan tema ini dalam skema mudharabah dan musyarakah yang telah dijelaskan pada pembahasan pembiayaan investasi.
IV. Kesimpulan
Berdasarkan tinjauan penulis terhadap tiga buku ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Sistem pembiayaan pada bank syariah memposisikan debitor (nasabah) dan kreditor (bank) pada posisi sejajar atau kemitraan, dimana kedua pihak saling bersepakat dan risiko ditanggung bersama.
2. Bank membebaskan debitor dari beban bunga (interest) yang harus dibayar walaupun dalam kondisi merugi.
3. Sebagai ganti dari bunga, bank menetapkan ongkos pelayanan yang nilai maksimumnya ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (pemerintah).
4. Untuk kalangan pengusaha kecil, bank dapat memberikan pinjaman tanpa bunga dan ongkos pelayanan. Debitor cukup mengembalikan pinjaman pokok dalam kurun waktu tertentu.
Empat kesimpulan di atas merupakan empat keunggulan sistem pembiayaan syariah dibandingkan pada bank konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah solusi terbaik untuk mengatasi masalah umat, dan dalam konteks ini, masalah perekonomian umat yang saat ini sedang terpuruk.